Budaya Patriarki di Indonesia

Membahas soal budaya patriarki, ternyata berkembangnya peradaban di Indonesia sulit untuk terlepas dari tembok besar patriarki. Patriarki ada sejak nenek moyang yang hingga sekarang tersosialisasikan dari generasi ke generasi dan melekat pada kehidupan masyarakat seperti halnya budaya loh. Patriarki merealisasikan kepercayaan yang didominasi oleh laki-laki dari pada perempuan. Patriarki berasal dari kata ‘Patriarkat’ yang berarti struktur penempatan laki-laki sebagai pemegang peran utama yang sentral dari pada gender lainnya (Irma Sakina & Dessy Hasanah Siti, n.d.). Budaya ini menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang diposisikan secara subordinat dengan batasan dimana mereka tidak dapat melampaui standart kedudukan peran utama atau laki-laki. Dalam buku The Orgin of the Family, Private Property, and the State yang ditulis oleh Frederic Angels, menjelaskan bahwa patriarki merupakan bentuk organisasi politik yang mendistribusikan ketidaksetaraan kekuasaan antara perempuan dengan laki-laki.
Jika kita flashback ke masa lampau, dimana laki-laki ditempatkan pada kekuasaan hierarki teratas dan perempuan berada di bawahnya yang tampak pada praktek agama Yahudi perempuan dianggap sebagai sumber polusi, inferior dan najis. Dari stigma tersebut, perempuan dilarang menghadiri upacara keagamaan dan hanya diperbolehkan berada di rumah peribadatan. Sedangkan, dalam masyarakat Budha pada tahun 1500 SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai masa puberitas dan mereka tidak memperoleh hak pendidikan, sehingga sebagian besar dari mereka menjadi buta huruf. Begitu juga di Indonesia ketika masa penjajahan Belanda dan Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang bertugas di Indonesia, serta terdapat peraturan-peraturan yang dibentuk untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali perempuan sekelas priyayi atau bangsawan (ConventionWatch, 2007).
Titik pusat patriarki yang perlu untuk selalu diperhatikan adalah bagaimana jika peradaban ini tidak dapat terlepas dari budaya tersebut. Apa yang terjadi pada negara jika sudah seperti itu?. Negara Indonesia mencatat dari tahun ke tahun angka kasus kekerasan gender terus meningkat meskipun, dinamikanya fluktuatif. Catatan tahunan 2022 dari Komnas mencatat bahwa di tahun 2021 kasus kekerasan gender sebesar 338.496. Jumlah tersebut merupakan peningkatan dari tahun 2020 sebanyak 49.7% dari 226.062 kasus. Bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut mengarah hingga ke pelecehan seksual berupa pemerkosaan, marital rape, incest, pencabulan, eksploitasi seksual serta bentuk-bentuk kekerasan lain baik secara verbal maupun fisik. Dampak lain yang terbawa oleh konstruksi patriarki adalah domestikasi gender. Pada konteks domestikasi gender ini laki-laki disematkan dalam status kepala rumah tangga setelah menikah yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rumah tangga, sementara perempuan terbatasi oleh lingkup domestik seperti mengasuh, melayani dan merawat rumah tangga. Dari pandangan tersebut, laki-laki akan dipandang negatif jika tidak memenuhi tuntutan ekonomi begitu juga dengan perempuan yang tidak memiliki cukup ruang gerak untuk berpartisipasi dalam ranah kehidupan lainnya. Ingat kah kalian pada tahun 2016, Indonesia sempat dihebohkan dengan kasus Yuyun pelajar SMP di Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh lalu dibuang ke jurang sedalam lima meter. Pelaku adalah 14 remaja di bawah umur seusai minum minuman keras dan pengaruh video pornografi (Hana, 2016). Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menyebutkan bahwa akar permasalahan dari kasus pelecehan terhadap perempuan terjadi akibat budaya patiarki yang mendarah daging di Indonesia. Pola pikir yang terbangun atas budaya patriarki mengobjektifikasi perempuan sebagai makhluk yang tidak punya kontrol dan kuasa atas tubuhnya. Dalam hal ini, Mutiara Ika Pratiwi juga mengevaluasi bahwa pemerintah terlambat untuk menyadari kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang catatannya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Dari sebab akibat diatas itulah mengapa perempuan bergerak merekonstruksikan melalui aksi gerakan feminisme untuk menepis segala bentuk ketimpangan gender di masyarakat. Feminisme adalah ideologi tentang kebebasan perempuan yang terbentuk dalam sebuah gerakan untuk menghapus eksploitasi, ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan. Ideologi seperti ini yang mulai ada di Indonesia salah satunya disuarakan oleh Raden Ajeng Kartini. Dari tekad dan keberaniannya, tak terhitung bagaimana kerasnya Ibu Kartini dalam membongkar hierarki gender. Gerakan ini bukan semata hanya dilakukan untuk perempuan karena erat hubungannya dengan identitas dan maskulinitas laki-laki maka, dibutuhkan peran laki-laki dan perempuan secara selaras dalam membawa perubahan sosial untuk memutar sistem dan struktur budaya patriarki di kehidupan masyarakat. Dalam perkembangan di masa sekarang, perempuan mulai berpartisipasi dalam berbagai ranah dunia industri, seni dan ketenagakerjaan dan menarik perhatian publik melalui tema women empowermen. Tema tersebut bertujuan untuk melawan arus stigma patriarki melalui karya-karya mereka dalam berbagai macam bentuk media seperti film, buku atau lagu. Hingga sampai pada perkembangan kesetaraan gender di Indonesia yang dapat kita lihat melalui IKG (Indeks Kesetaraan Gender). Meski pada tahun-tahun sebelumnya belum menunjukkan akurasi peningkatan yang signifikan namun, Indonesia telah mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 dengan angka 0,7. Laporan terakhir pada tahun 2022, skor tertinggi tampak pada kategori pencapaian pendidikan sebesar 0,972, dan skor terendah berada pada kategori pemberdayaan politik sebesar 0,169.
Kekerasan, pelecehan seksual, domestikasi hingga objektifikasi yang terbawa oleh lekatnya konstruksi budaya patriarki tampaknya cukup menjelaskan alasan pro-feminisme yang selalu bersuara agar semua pihak tidak hilang kesadaran akan isu ini. Baik laki-laki maupun perempuan berperan penting dalam eksistensi konstruksi sosial patriarki di Indonesia. Keduanya akan berjalan beriringan dalam semua ranah kenegaraan baik pendidikan, perekonomian, politik dan sosial untuk menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang seimbang.
DAFTAR RUJUKAN
Hana, L. (2016). Jurnal Studi Kultural, Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Yuyundalam Kacamata Kultur Patriarki. In Jurnal Studi Kultural: Vol. I (Issue 2). www.an1mage.org
Irma Sakina, A., & Dessy Hasanah Siti, dan A. (n.d.). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. http://www.jurnalperempuan.org/blog2/-akar-